Sutan
Mahmud Syah termasuk salah seorang bangsawan yang cukup terkenal di
Padang. Penghulu yang sangat disegani dan dihormati penduduk
disekitarnya itu, mempunyai putra bernama Samsulbahri, anak tunggal yang
berbudi dan berprilaku baik. Bersebelahan dengan rumah Sutan Mahmud
Syah, tinggal seorang Saudagar kaya bernama Baginda Sulaiman. Putrinya,
Sitti Nurbaya, juga merupakan anak tunggal keluarga kaya-raya itu.
Sebagaimana umumnya kehidupan bertetangga, hubungan antara keluarga
Sutan Mahmud Syah dan keluarga Baginda Sulaiman, berjalan dengan baik.
Begitu pula hubungan Samsulbahri dan Sitti Nurbaya. Sejak anak-anak
sampai usia mereka menginjak remaja, persahabatan mereka makin erat.
Apalagi, keduanya belajar di sekolah yang sama. Hubungan kedua remaja
itu berkembang menjadi hubungan cinta. Perasaan tersebut baru mereka
sadari ketika Samsulbahri akan berangkat ke Jakarta untuk melanjutkan
sekolahnya.
Sementara itu, Datuk Meringgih, salah seorang saudagar kaya di Padang,
berusaha untuk menjatuhkan kedudukan Baginda Sulaiman. Ia menganggap
Baginda Sulaiman sebagai saingannya yang harus disingkirkan, di samping
rasa iri hatinya melihat harta kekayaan ayah Sitti Nurbaya itu. “Aku
sesungguhnya tidak senang melihat perniagan Baginda Sulaiman, makin hari
makin bertambah maju, sehingga berani ia bersaing dengan aku. Oleh
sebab itu, hendaklah ia dijatuhkan,” demikian Datuk Meringgih berkata
(hlm. 92). Ia kemudian menyuruh anak buahnya untuk membakar dan
menghancurkan bangunan, took-toko, dan semua harta kekayaan Baginda
Sulaiman.
Akal busuk Datuk Meringgih berhasil. Baginda Sulaiman kini jatuh
miskin. Namun, sejauh itu, ia belum menyadari bahwa sesungguhnya,
kejatuhannya akibat perbuatan licik Datuk Meringgih. Oleh karena itu,
tanpa prasangka apa-apa, ia meminjam uang kepada orang yang sebenarnya
akan mencelakakan Baginda Sulaiman.
Bagi Datuk Meringgih kedatangan Baginda Sulaiman itu ibarat “Pucuk
dicinta ulam tiba”, karena memang hal itulah yang diharapkannya.
Rentenir kikir yang tamak dan licik itu, kemudian meminjamkan uang
kepada Baginda Sulaiman dengan syarat harus dapat dilunasi dalam waktu
tiga bulan. Pada saat yang telah ditetapkan, Datuk Meringgih pun dating
menagih janji.
Malang bagi Baginda Sulaiman. Ia tak dapat melunasi utangnya. Tentu
saja Datuk Meringgih tidak mau rugi. Tanpa belas kasihan, ia akan
mengancam akan memenjarakan Baginda Sulaiman jika utangnya tidak segera
dilunasi, kecuali apabila Sitti Nurbaya diserahkan untuk dijadikan istri
mudanya.
Baginda Sulaiman tentu saja tidak mau putrid tunggalnya menjadi korban
lelaki hidung belang itu walaupun sbenarnya ia tak dapat berbuat
apa-apa. Maka, ketika ia sadar bahwa dirinya tak sanggup untuk membayar
utangnya, ia pasrah saja digiring polisi dan siap menjalsni hukuman.
Pada saat itulah, Sitti Nurbaya keluar dari kamarnya dan menyatakan
bersedia menjadi istri Datuk Meringgih asalkan ayahnya tidak
dipenjarakan. Suatu putusan yang kelak akan menceburkan Sitti Nurbaya
pada penderitaan yang berkepanjangan.
Samsulbahri, mendengar peristiwa yang menimpa diri kekasihnya itu lewat
surat Sitti Nurbaya, juga ikut prihatin. Cintanya kepada Sitti Nurbaya
tidak mudah begitu saja ia lupakan. Oleh karena itu, ketika liburan, ia
pulang ke Padang, dan menyempatkan diri menengok Baginda Sulaiman yang
sedang sakit. Kebetulan pula, Sitti Nurbaya pada saat yang sama sedang
menjenguk ayahnya. Tanpa sengaja, keduanya pun bertemu lalu saling
menceritakan pengalaman masing-masing.
Ketika mereka sedang asyik mengobrol, datanglah Datuk Meringgih. Sifat
Meringgih yang culas dan selalu berprasangka itu, tentu saja menyangka
kedua orang itu telah melakukan perbuatan yang tidak pantas. Samsulbahri
yang tidak merasa tidak melakukan hal yang tidak patut, berusaha
membela diri dari tuduhan keji itu. Pertengkaran pun tak dapat
dihindarkan.
Pada saat pertengkaran terjadi, ayah Sitti Nurbaya berusaha datang ke
tempat kejadian. Namun, karena kondisinya yang kurang sehat, ia jatuh
dari tangga hingga menemui ajalnya.
Ternyata ekor perkelahian itu tak hanya sampai di situ. Ayah
Samsulbahri yang merasa maluatas tuduhan yang ditimpakan kepada anaknya,
kemudian mengusir Samsulbahri. Pemuda itu terpaksa kembali ke Jakarta.
Sementara Sitti Nurbaya, sejak ayahnya meninggal merasa dirinya telah
bebas dan tidak perlu lagi tunduk dan patuh kepada Datuk Meringgih.
Sejak saat itu ia tinggal menumpang bersama salah seorang familinya yang
bernama Aminah.
Sekali waktu, Sitti Nurbaya bermaksud menyusul kekasihnya ke Jakarta.
Namun, akibat tipu muslihat dan akal licik Datuk Meringgih yang
menuduhnya telah mencuri harta perhiasan bekas suaminya itu, Sitti
Nurbaya terpaksa kembali ke Padang. Oleh karena Sitti Nurbaya tidak
bersalah, akhirnya ia bebas dari tuduhan. Namun, Datuk Meringgih masih
juga belum puas. Ia kemudian menyuruh seseorang untuk meracun Sitti
Nurbaya. Kali ini, perbuatannya berhasil. Sitti Nurbaya meninggal karena
keracunan.
Rupanya, berita kematian Sitti Nurbaya membuat sedih ibu Samsulbahri.
Ia kemudian jatuh sakit, dan tidak berapa lama kemudian meninggal dunia.
Berita kematian Sitti Nurbaya dan ibu Samsulbahri, sampai juga ke
Jakarta. Samsulbahri yang merasa amat berduka, mula-mula mencoba bunuh
diri. Beruntung, temannya, Arifin, dapat menggagalkan tindakan nekat
Samsulbahri. Namun, lain lagi berita yang sampai ke Padang. Di kota ini,
Samsulbahri dikabarkan telah meninggal dunia.
Sepuluh tahun berlalu. Samsulbahri kini telah menjadi serdadu kompeni
dengan pangkat letnan. Ia juga sekarang lebih dikenal dengan nama Letnan
Mas. Sebenarnya, ia menjadi serdadu kompeni bukan karena ia ingin
mengabdi kepada kompeni, melainkan terdorong oleh rasa frustasinya
mendengar orang-orang yang dicintainya telah meninggal. Oleh karena itu,
ia sempat bimbang juga ketika mendapat tugas harus memimpin pasukannya
memadamkan pemberontakan yang terjadi di Padang. Bagaimanapun, ia tak
dapat begitu saja melupakan tanah leluhurnya itu. Ternyata pemberontakan
yang terjadi di Padang itu didalangi oleh Datuk Meringgih.
Dalam pertempuran me;awan pemberontak itu, Letnan Mas mendapat
perlawanan cukup sengit. Namun, akhirnya ia berhasil menumpasnya,
termasuk juga menembak Datuk Meringgih, hingga dalang pemberontak itu
tewas. Namun, Letnan Mas luka parah terkena sabetan pedang Datuk
Meringgih.
Rupanya, kepala Letnan Mas yang terluka itu, cukup parah. Ia terpaksa
dirawat dirumah sakit. Pada saat itulah timbul keinginan Letnan Mas
untuk berjumpa dengan ayahnya. Ternyata, pertemuan yang mengharukan
antara “Si anak yang hilang” dan ayahnya itu merupakan pertemuan
terakhir sekaligus akhir hayat kedua orang itu. Oleh karena setelah
Letnan Mas menyatakan bahwa ia Samsulbahri, ia mengembuskan napas di
depan ayahnya sendiri. Adapun Sutan Mahmud Syah, begitu tahu bahwa
Samsulbahri yang dikiranya telah meninggal beberapa tahun lamanya
tiba-tiba kini tergolek kaku menjadi mayat akhirnya pun meninggal dunia
pada keesokan harinya.